Gemblung yang Masih Tetap “Gemblung”

Jalan menuju Dusun Gemblung (Gembleng)
Info Trenggalek - Bangsa Indonesia telah merdeka selama 70 tahun, masa dimana seharusnya sebuah bangsa sudah melalui proses reformasi dalam segala bidang pengelolaan berbangsa dan bernegara. Sudah seharusnya bangsa ini merasakan kemerdekaan hakiki dalam semua aspeknya, pendidikan yang layak, kesehatan yang terjamin, dan kesejahteraan yang merata. Paling tidak tiga hal itu yang kemudian harus menjadi jaminan oleh penguasa bagi rakyat yang dikatakan sudah merdeka. Seiring dengan hal itu, pemimpin di negeri ini sudah mulai menunjukkan gagasan-gagasan briliannya untuk memenuhi tiga point pokok bagi rakyatnya, meskipun hal tersebut belum sepenuhnya terealisasi, namun apa yang kita rasakan saat ini merupakan prestasi yang luar biasa dari pemerintah dapat menjaga stabilitas negara di tengah arus globalisasi dan ancaman radikalisme. Di kala situasi politik di timur tengah yang semakin runyam, namun dengan konsistensi dari semua pihak dalam menjaga keutuhan NKRI menjadikan Indonesia dan seluruh rakyat Indonesia tetap dapat menjalani kehidupan dengan aman dan tenteram. Memang untuk mengurus negara dengan wilayah yang seluas Indonesia tidaklah mudah. Di beberapa wilayah tertentu, seperti di daerah perbatasan, di daerah-daerah terpencil terkadang ada yang luput dari perhatian pemerintah atau karena beberapa hal perhatian di daerah tersebut begitu minim perhatian sehingga pertumbuhan dan perkembangan masyarakat begitu lambat.

Masih berkaitan dengan Gunung Gemblung Durenan yang berada di salah satu Kecamatan di Trenggalek yang sebelumnya pernah kami posting, dibalik keindahan alam bumi gemblung ini, terdapat sebuah dusun yang bisa dikatakan dusun ini merupakan dusun yang tergolong terpencil, yang minim perhatian, atau luput dari perhatian pemerintah. Di tengah kemajuan dan arus modernisasi yang dirasakan masyarakat, Dusun Gemblung atau Gembleng ini sangat jauh tertinggal dari term modern itu. Beberapa hal yang menjadi persoalan utama bagi kehidupan masyarakat Dusun Gemblung diantaranya adalah, akses jalan yang masih sulit, jatah listrik yang belum maksimal (masih nyalur), dan persoalan pipil pajak. Sekiranya itulah yang diceritakan beberapa warga Gemblung yang kami temui.

Mbah Muh, sesepuh di Dusun Gemblung bercerita, persoalan-persoalan yang dihadapi warga Gemblung berawal semenjak Indonesia dijajah oleh Belanda. Bagaimana mereka menjalani kehidupan di pegunungan dengan keadaan yang serba kekurangan. Kehidupan yang selalu diliputi rasa was-was dibawah kekuasaan penjajah. Kecintaan masyarakat untuk tetap tinggal di kawasan ini sempat terusik oleh campur tangan Belanda. Rentan waktu tahun 1940-1945 ada upaya dari Belanda memaksa masyarakat dipaksa untuk mengungsi turun gunung ke tempat yang lebih mudah dijangkau, karena Belanda khawatir jika dibiarkan pemukiman penduduk di pegunungan ini jangan-jangan digunakan untuk menyembunyikan para pejuang.

Dan untuk pertama kalinya, pada tahun 1928 tanah pegunungan di daerah Gemblung ini diaku oleh perhutani dibawah kolonial Belanda. Ini yang kemudian menurut mbah Muh menjadi persoalan sengketa tanah antara masyarakat Gemblung dengan perhutani sampai hari ini. Sampai hari ini, Indonesia yang telah merdeka persoalan tersebut belum bisa diputuskan sepenuhnya. “jaman mbiyen seng njajah londo, saiki seng njajah bangsane dewe, dulure dewe” ujar mbah Muh di sela bercerita. Yang disayangkan mbah Muh ketika persoalan ini tidak segera diselesaikan adalah, masyarakat gemblung yang sering kali dianggap menjadi pencuri kayu milik perhutani, padahal mereka sudah lama mendiami tanah tersebut dan Indonesia sudah lepas dari penjajahan.

Mungkin sebagian dari kita, ketika ditagih pembayaran pipil pajak terkadang nunggak, berbeda dengan sikap masyarakat Gemblung, mereka malah mengharapkan dengan adanya pipil pajak disetorkan kepada mereka. Kenapa demikian?. Mereka merasa menjadi bangsa Indonesia dan butuh pengakuan sebagai bagian dari negara yang kemudian mereka ingin wujudkan dengan membayar pipil pajak. Mereka ingin persoalan sengketa tanah ini segera diakhiri sehingga tidak ada lagi stigma negatif yang melekat pada masyarakat Gemblung.

Bisa dibayangkan betapa sulitnya mereka hidup di daerah terpencil. Dengan kondisi jalan yang sempit dan menanjak, bagaimana mereka membangun rumah, bagaimana mereka membawa material, batu bata, pasir, genteng dan lain sebagainya, sedangkan kondisi jalan yang masih demikian, hanya cukup untuk lewat satu motor. Bisa digambarkan, bila mereka beli pasir satu truk seharga 600 ribu, tapi biaya untuk jasa angkut motor bolak-balik justru bisa sampai keluar 1, 5 juta. Mungkin dari kita lebih memilih untuk turun gunung dan hidup di daerah yang lebih mudah untuk melakukan aktivitas. Tetapi mereka lebih memilih bertahan disana sebagai wujud kecintaan terhadap tanah kelahirannya.

Untuk kedepannya, semoga Dusun dengan nama asli Gembleng di pegunungan Gemblung ini mendapat perhatian lebih dari pemerintah yang berwewenang, sehingga pembangunan di Dusun Gemblung atau Gembleng  bisa berjalan dengan lancar, kesejahteraan masyarakat lebih merata, dan tentunya semoga Gemblung tidak lagi “Gemblung” di tengah era yang semakin modern ini.

1 comment for "Gemblung yang Masih Tetap “Gemblung”"

Post a Comment